Senin, 11 Februari 2013

BALASAN SURAT PENUH KEBOHONGAN part 1



Lihatlah gubuk ini masih seperti 30 tahun yang lalu saat aku berangkat meninggalkannya demi kepentingan ekonomi keluarga . Sekarang aku mengerti kenapa orang – orang menguburkan papan ini saat gubuk ini akan di bangun dahulunya. Memang benar mak Piyah, dia pernah bercerita kepada ku waktu aku masih kecil dahulu bahwasaanya papan itu akan kokoh jika ia di kubur dengan lumpur selama beberapa hari . Aku sangat terkejut pada waktu itu dan sedikit tidak percaya dengan pernyataannya , apakah benar setelah di semayamkan di dalam lumpur selama berhari-hari akan menambah kekokohannyanya? Bukankah itu akan membuat lapuk si papan tadi?. Sekarang baru aku percaya setelah meninggalkan gubuk tua ini sejak 30 tahun yang lalu.Ketika aku meninggalkannya gubuk ini masih berdiri kokoh dan papannya juga masih bagus dan tiada di makan ulat sedikitpun, begitu juga saat aku mengunjunginya lagi sekarang , pemandangan yang sama masih , hampir tidak ada perubahan dengan keadaan gubuk ini . Hanya saja dahulu tidak ada kamar mandi didalam gubuk ini, sekarang dengan semakin majunya pembangunan setiap rumah sudah memiliki kamar mandi sendiri. Dengan demikian tak ada lagi rakyat kampung itu yang mandi ke pancuran . Dahulu dengan riangnya para gadis-gadis kampung berlarian untuk berebut mandi ke pancuran dengan cepat agar mendapat giliran mandi pertama sambil bercanda bersama temannya yang lain. Sekarang sudah tidak zaman lagi katanya.Padahal kehidupan kampung yang seperti dulu sangatlah damai, pemudanya perkerja keras begitu juga para gadis kampung yang harus bisa ke dapur pada saat mereka sudah remaja.



Dahulu interaksi sesama penduduk kampung terjalin dengan sangat eratnya, bagaimana tidak ketika mandi para gadis akan bertemu dengan gadis lainnya dan menjalin interaksi yang hangat dan mencuci pakaian bersama sambil menceritakan sedikit lelucon yang membuat keakraban dan canda tawa terjalin. Begitu juga para pemudanya mereka senang pergi kesawah , mencangkul bersama atau mengopi di kala istirahat petang seusai bekerja dibawah terik matahari yang menjilati tubuh mereka . Pada saat istirahatlah para pemuda berinteraksi juga dengan hangat bercerita perihal jodoh atau gadis kampung yang sedang ditaksirnya dan berniat dia lamar . Yaaa…mereka langsung melamar gadis yang mereka sukai tanpa membiarkan diri mereka terjerat dalam zina saat sebelum pernikahan. Jangan kan hal itu bertemu dengan lelaki yang bukan muhrimnya sang gadis harus ditemani mahramnya atau dihadapan orang ramai agar tak terjadi fitnah.Tapi sekarang hal itu sungguh sangat jarang ditemukan , yang ada hanyalah fakta tragis yang sangat betolak belakang dengan zaman dahulu.
“oh Budiman…. Aku jadi bernostalgia di hapanmu , cerita itu seolah membawa ku kembali pada kehangatan persaudaraan yang terjalin ketika kita masih menetap di kampung tercinta ini .
“tentu saja Sukiman , aku juga sangat merindukan masa-masa dahulu ketika kita bermain bersama ,tertawa bersama dan bercerita tentang….ehhhhmmm jodoh bersama…hahhaha”
“Ah…sudahlah Budiman , kau tak usah mengungkit lagi kata keramat itu, karena hanya akan membuatku tersedu mengingatnya sekarang”
“hei…kenapa denganmu Sukiman ? aku pikir kau sudah menemukan jodohmu yang tepat pada saat itu”
“ternyata aku salah Bud,awak dek nak tahu dipadeh lado , nak tau dimasin garam Itu pepatah minang yang membawa saya merantau dari kampung ini , pepatah yang memiliki arti yang sangat bagus agar kita mengetahui betapa susahnya mencari sesuap nasi yang kita tidak pernah tau sebelumnya “
“yo Sukiman”
“pada saat itu aku tanpa ragu lagi meninggalkan si Puti dikampung ini , karena kami sudah sepakat akan saling menunggu waktu yang tepat untuk aku bisa meminangnya dan kami hidup bersama, dengan kehidupan yang layak . Meskipun tidak ada kesepakatan tertulis namun , kami sudah berjanji untuk mengikat hati kami bersama dan tidak membiarkan gunting setajam apapun memutuskan ikatan ini, begitu kokohnya ikatan kami ini .Aku berangkat dengan meninggalkan Puti yang beruraian air mata melepas kepergiaanku, namun aku mayakinkannya kembali bahwa aku hanya pergi sebentar untuk menjemput kebahagiaan dan membawanya pulang kepangkuan sang Puti .Meskipun sebenarnya waktu itu aku tak kuasa menahan tangisan pilu meninggalkan tambatan hatiku untuk berlayar dilautan darah demi membawa sesuap nasi “
“aku tidak tahu pasti apa yang terjadi denganmu setelah itu Sukiman, maafkan aku! Karena tepat sehari sesudah keberangkatanmu aku juga mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ku di Kairo”
“tidak apa-apa Bud ! aku paham , karena memang sewaktu kita bersama dahulu di kampung aku selalu menceritakan kepadamu niat ku untuk melamar Puti yang belum juga terwujud hingga akhirnya kita terpisah. Kau merantau demi pendidikanmu dan aku merantau demi kelangsungan hidupku.”
“oh…kau sahabatku dari dulu yang terkenal dengan kerja kerasnya Sukiman ,berani mencoba tantangan baru dan rela berkorban demi orang-orang yang kau cintai, tapi sungguh aku tidak tahu bagaimana kelanjutan certitamu dengan Puti”
Eehhh..Iman, bao makan Budi tu , jan maota panjang se . Seruan mak Piyah memutus pembicaraan kami . Belum sempat aku melanjutkan cerita ku , Mak Piyah memanggil aku untuk segera mengajak Budiman keruangan makan , untuk makan bersama.
Mak Piyah memang sudah tua, namun pendengaran dan penglihatannya masih bagus. Hanya saja sekarang dengan usianya yang sudah senja , ia tidak mampu lagi bekerja seperti dahulu. Sekarang ia menghabiskan waktu tuanya dengan duduk diatas kursi kesayangannya yang berhadapan dengan jendela. Mak Piyah menghabiskan waktunya seharian disana sambil menganyam beberapa perlengkapan rumah yang terbuat dari pandan berduri yang sudah dijemur dan di keringkan terlebih dahulu .
Aku menuruti perintah Mak . Sontak percakapanku terputus dan kami langsung menuju meja makan yang telah tersedia aneka masakan tradisional kampung yang aku sudah lama tak merasakannya , begitu juga Budiman .Tentu saja rendang adalah menu utama hari ini aku dan Budiman sudah tidak dapat menahan selera lagi, mencium baunya saja rasa lapar semakin menjadi-jadi . Benar- benar rendang buatan Mak Piyah sudah terkenal di kalangan masyarakat .
Mak Piyah sewaktu mudanya pernah bekerja di kedai kecil tempat bersinggahnya para pedati di zaman dahulu . Zaman ketika kendaraan umum yang ada satu-satunya hanyalah pedati . Kedai tempat Mak Piyah bekerja di tepi jalan besar yang selalu dilewati pedati dan para pedagang untuk pergi ke pasar . Tentu jarak pasar dan rumah para pedagang sangat jauh , mereka harus beranjak dari rumah ketika matahari masi malu untuk menebarkan senyumannya dan tiba di pasar ketika ayam berkokok untuk yang kesekian kalinya.  Kedai tempat Mak Piyah bekerjalah menjadi singgahan mereka untuk mengganjal perut dan bersiap untuk berperang dengan sang waktu demi bertahan dan melihat matahari terbit lagi di esok harinya.Jadi, tidak perlu di ragukan lagi kecakapan tangan Mak saat menggoyangkan sendok di dalam kuali saat memasak rendang .
Aku hampir lupa cuci tangan sebelum makan karena begitu menarik perhatiannya rendang Mak . Memang sudah tradisi makan pakai tangan itu lebih enak dari makan menggunakan sendok seperti budaya barat yang sangat popular di zaman sekarang . Budaya barat yang sudah menguasai kebudayaan dan tradisi asli masyarakat Indonesia . Aku dengan lahapnya makan , untung Budiman mengingatkanku untuk cuci tangan dulu sebelum makan kalau tidak  semua debu dan kuman di tangan bisa bertengger di atas rendang buatan Mak , dan pasti akan mengurangi kenikmatannya. Dan aku tidak mau itu terjadi , karena kita harus membudayakan hidup bersih mulai dari diri kita sendiri . Itu pesan yang sering di katakan Mak kepadaku , bahwasannya kita harus menjaga kebersihan , keimanan , ketaatan pada pencipta , kecintaan pada lingkungan dan apapun itu hal positif yang harus kita mulai dari diri pribadi terlebih dahulu .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar