Lihatlah
gubuk ini masih seperti 30 tahun yang lalu saat aku berangkat meninggalkannya
demi kepentingan ekonomi keluarga . Sekarang aku mengerti kenapa orang – orang
menguburkan papan ini saat gubuk ini akan di bangun dahulunya. Memang benar mak
Piyah, dia pernah bercerita kepada ku waktu aku masih kecil dahulu bahwasaanya
papan itu akan kokoh jika ia di kubur dengan lumpur selama beberapa hari . Aku
sangat terkejut pada waktu itu dan sedikit tidak percaya dengan pernyataannya ,
apakah benar setelah di semayamkan di dalam lumpur selama berhari-hari akan
menambah kekokohannyanya? Bukankah itu akan membuat lapuk si papan tadi?.
Sekarang baru aku percaya setelah meninggalkan gubuk tua ini sejak 30 tahun
yang lalu.Ketika aku meninggalkannya gubuk ini masih berdiri kokoh dan papannya
juga masih bagus dan tiada di makan ulat sedikitpun, begitu juga saat aku
mengunjunginya lagi sekarang , pemandangan yang sama masih , hampir tidak ada
perubahan dengan keadaan gubuk ini . Hanya saja dahulu tidak ada kamar mandi
didalam gubuk ini, sekarang dengan semakin majunya pembangunan setiap rumah
sudah memiliki kamar mandi sendiri. Dengan demikian tak ada lagi rakyat kampung
itu yang mandi ke pancuran . Dahulu dengan riangnya para gadis-gadis kampung
berlarian untuk berebut mandi ke pancuran dengan cepat agar mendapat giliran
mandi pertama sambil bercanda bersama temannya yang lain. Sekarang sudah tidak
zaman lagi katanya.Padahal kehidupan kampung yang seperti dulu sangatlah damai,
pemudanya perkerja keras begitu juga para gadis kampung yang harus bisa ke
dapur pada saat mereka sudah remaja.
Dahulu
interaksi sesama penduduk kampung terjalin dengan sangat eratnya, bagaimana
tidak ketika mandi para gadis akan bertemu dengan gadis lainnya dan menjalin
interaksi yang hangat dan mencuci pakaian bersama sambil menceritakan sedikit
lelucon yang membuat keakraban dan canda tawa terjalin. Begitu juga para
pemudanya mereka senang pergi kesawah , mencangkul bersama atau mengopi di kala
istirahat petang seusai bekerja dibawah terik matahari yang menjilati tubuh
mereka . Pada saat istirahatlah para pemuda berinteraksi juga dengan hangat
bercerita perihal jodoh atau gadis kampung yang sedang ditaksirnya dan berniat
dia lamar . Yaaa…mereka langsung melamar gadis yang mereka sukai tanpa
membiarkan diri mereka terjerat dalam zina saat sebelum pernikahan. Jangan kan
hal itu bertemu dengan lelaki yang bukan muhrimnya sang gadis harus ditemani
mahramnya atau dihadapan orang ramai agar tak terjadi fitnah.Tapi sekarang hal
itu sungguh sangat jarang ditemukan , yang ada hanyalah fakta tragis yang
sangat betolak belakang dengan zaman dahulu.
“oh
Budiman…. Aku jadi bernostalgia di hapanmu , cerita itu seolah membawa ku
kembali pada kehangatan persaudaraan yang terjalin ketika kita masih menetap di
kampung tercinta ini .
“tentu
saja Sukiman , aku juga sangat merindukan masa-masa dahulu ketika kita bermain
bersama ,tertawa bersama dan bercerita tentang….ehhhhmmm jodoh bersama…hahhaha”
“Ah…sudahlah
Budiman , kau tak usah mengungkit lagi kata keramat itu, karena hanya akan
membuatku tersedu mengingatnya sekarang”
“hei…kenapa
denganmu Sukiman ? aku pikir kau sudah menemukan jodohmu yang tepat pada saat
itu”
“ternyata
aku salah Bud,awak dek nak tahu dipadeh
lado , nak tau dimasin garam Itu pepatah minang yang membawa saya merantau
dari kampung ini , pepatah yang memiliki arti yang sangat bagus agar kita
mengetahui betapa susahnya mencari sesuap nasi yang kita tidak pernah tau
sebelumnya “
“yo
Sukiman”
“pada
saat itu aku tanpa ragu lagi meninggalkan si Puti dikampung ini , karena kami
sudah sepakat akan saling menunggu waktu yang tepat untuk aku bisa meminangnya
dan kami hidup bersama, dengan kehidupan yang layak . Meskipun tidak ada
kesepakatan tertulis namun , kami sudah berjanji untuk mengikat hati kami
bersama dan tidak membiarkan gunting setajam apapun memutuskan ikatan ini,
begitu kokohnya ikatan kami ini .Aku berangkat dengan meninggalkan Puti yang
beruraian air mata melepas kepergiaanku, namun aku mayakinkannya kembali bahwa
aku hanya pergi sebentar untuk menjemput kebahagiaan dan membawanya pulang
kepangkuan sang Puti .Meskipun sebenarnya waktu itu aku tak kuasa menahan
tangisan pilu meninggalkan tambatan hatiku untuk berlayar dilautan darah demi
membawa sesuap nasi “
“aku
tidak tahu pasti apa yang terjadi denganmu setelah itu Sukiman, maafkan aku!
Karena tepat sehari sesudah keberangkatanmu aku juga mendapat beasiswa untuk
melanjutkan pendidikan ku di Kairo”
“tidak
apa-apa Bud ! aku paham , karena memang sewaktu kita bersama dahulu di kampung
aku selalu menceritakan kepadamu niat ku untuk melamar Puti yang belum juga
terwujud hingga akhirnya kita terpisah. Kau merantau demi pendidikanmu dan aku
merantau demi kelangsungan hidupku.”
“oh…kau
sahabatku dari dulu yang terkenal dengan kerja kerasnya Sukiman ,berani mencoba
tantangan baru dan rela berkorban demi orang-orang yang kau cintai, tapi
sungguh aku tidak tahu bagaimana kelanjutan certitamu dengan Puti”
Eehhh..Iman, bao makan Budi tu ,
jan maota panjang se . Seruan mak Piyah memutus pembicaraan
kami . Belum sempat aku melanjutkan cerita ku , Mak Piyah memanggil aku untuk
segera mengajak Budiman keruangan makan , untuk makan bersama.
Mak
Piyah memang sudah tua, namun pendengaran dan penglihatannya masih bagus. Hanya
saja sekarang dengan usianya yang sudah senja , ia tidak mampu lagi bekerja
seperti dahulu. Sekarang ia menghabiskan waktu tuanya dengan duduk diatas kursi
kesayangannya yang berhadapan dengan jendela. Mak Piyah menghabiskan waktunya
seharian disana sambil menganyam beberapa perlengkapan rumah yang terbuat dari
pandan berduri yang sudah dijemur dan di keringkan terlebih dahulu .
Aku
menuruti perintah Mak . Sontak percakapanku terputus dan kami langsung menuju
meja makan yang telah tersedia aneka masakan tradisional kampung yang aku sudah
lama tak merasakannya , begitu juga Budiman .Tentu saja rendang adalah menu
utama hari ini aku dan Budiman sudah tidak dapat menahan selera lagi, mencium
baunya saja rasa lapar semakin menjadi-jadi . Benar- benar rendang buatan Mak
Piyah sudah terkenal di kalangan masyarakat .
Mak
Piyah sewaktu mudanya pernah bekerja di kedai kecil tempat bersinggahnya para
pedati di zaman dahulu . Zaman ketika kendaraan umum yang ada satu-satunya
hanyalah pedati . Kedai tempat Mak Piyah bekerja di tepi jalan besar yang
selalu dilewati pedati dan para pedagang untuk pergi ke pasar . Tentu jarak
pasar dan rumah para pedagang sangat jauh , mereka harus beranjak dari rumah
ketika matahari masi malu untuk menebarkan senyumannya dan tiba di pasar ketika
ayam berkokok untuk yang kesekian kalinya.
Kedai tempat Mak Piyah bekerjalah menjadi singgahan mereka untuk
mengganjal perut dan bersiap untuk berperang dengan sang waktu demi bertahan
dan melihat matahari terbit lagi di esok harinya.Jadi, tidak perlu di ragukan
lagi kecakapan tangan Mak saat menggoyangkan sendok di dalam kuali saat memasak
rendang .
Aku
hampir lupa cuci tangan sebelum makan karena begitu menarik perhatiannya
rendang Mak . Memang sudah tradisi makan pakai tangan itu lebih enak dari makan
menggunakan sendok seperti budaya barat yang sangat popular di zaman sekarang .
Budaya barat yang sudah menguasai kebudayaan dan tradisi asli masyarakat
Indonesia . Aku dengan lahapnya makan , untung Budiman mengingatkanku untuk
cuci tangan dulu sebelum makan kalau tidak semua debu dan kuman di tangan bisa bertengger
di atas rendang buatan Mak , dan pasti akan mengurangi kenikmatannya. Dan aku
tidak mau itu terjadi , karena kita harus membudayakan hidup bersih mulai dari
diri kita sendiri . Itu pesan yang sering di katakan Mak kepadaku , bahwasannya
kita harus menjaga kebersihan , keimanan , ketaatan pada pencipta , kecintaan
pada lingkungan dan apapun itu hal positif yang harus kita mulai dari diri
pribadi terlebih dahulu .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar